Sabtu, 21 November 2015

DIY Bahagia

OUTLINE :
I. AGAR BERBAHAGIA
   A. Mudah Memaafkan
       - Tidak ada kebencian
       - Hati bersih
   B. Gampang Mengikhlaskan
        - Jiwa Tenang
        - Hati tentram
   C. Rajin Bersyukur
        - Selalu berkecukupan
        - Tak ada iri hati

.
.

Sabtu, 14 November 2015

Mengapa aku menulis?

Untuk apa aku menulis?

Apakah?

Apakah hanya menjadi tempat penyaluran bakat yang tak tersalurkan?
Apakah hanya menjadi tempat mengungkapkan kata yang tak pernah terucapkan?
Apakah hanya menjadi penghibur rasa yang tak mungkin terbalaskan?

Mungkinkah?

Mungkinkah aku menulis demi mempersilahkan segala curahan yang ingin tercurahkan keluar melalui segala rangkaian kata?
Mungkinkah aku menulis semata-mata ingin dipandang pandai merangkai kata oleh orang lain?
Mungkinkah, aku menulis untuk melepaskan kepedihan, sakit hati, serta tangis pada kehidupan?
Mungkinkah, aku menulis demi membuat sebuah kisah fiksi yang begitu kuinginkan terjadi dikehidupanku?

Walaupun kutahu hal itu sangat tidak mungkin terjadi pada kehidupan kelam yang kulalui.

Akan sangat banyak pendeskripsian yang dapat mendeskripsikan dalam hal apa aku ingin menulis.

Apakah aku menulis demi menyampaikan perasaan?.

ya, benar. Karna kutahu tak semua perasaan harus tersampaikan melalui ucapan.
Apakah aku menulis demi menghilangkan kepedihan dalam hidup? 

Iya, Aku menulis demi menghilangkan penat, serta segala hal yang membuatku hampir jatuh. 

Menulis memberiku kekuatan. Seakan disetiap rangkaian kata yang kutuliskan mampu mengalahkan ketidak mampuanku menghadapi segalanya.

Menulis memberiku kebahagiaan. Seakan setiap detik waktu yang kuhabiskan bagaikan terhabiskan oleh pelangi yang bercahaya, bunga-bunga yang bermekaran serta burung warna-warni yang beterbangan.

Menulis memberiku kedamaian. Seakan didalamnya terdapat puluhan hektar padang rumput yang baru saja basah akibat terguyur air hujan.

Menulis memberiku waktu. Waktu untuk berpikir lebih jernih demi menata segala hal agar menjadi lebih sempurna.

Menulis membuatku berpikir. Bagaimana bisa, sebuah rangkaian kata yang kutuliskan dapat membuatku merasakan kebahagiaan, ketenangan, dan kedamaian dalam waktu bersamaan?

Bagaimana bisa? Akibat suatu rangkaian kata, dapat membuat sehari dalam hidupku begitu berharga.

Bagaimana bisa? Hanya karna rangkaian kata, aku dapat merubah persepsi dan cara berfikir orang lain?

Lalu bagaimana bisa? Hanya karna sebuah rangkaian kata, aku dapat bermanfaat bagi kehidupan orang lain?

Aku mengingat kutipan dari Imam Al-Ghazali yang mengatakan "Apabila kamu bukan anak raja dan anak seorang ulama besar. Maka jadilah penulis."

Aku jadi mengerti. Menjadi seorang penulis sangat lah penting. Bahkan seorang anak raja serta anak ulama besar pun dapat terkalahkan oleh seorang penulis yang bermanfaat.

Kalau beberapa orang menganggap, penulis hanya duduk didepan kertas menunggu ide mengalir lalu semuanya akan dituliskan begitu saja.

Bukan, menulis tak semudah itu. Menulis tak semudah duduk dengan secangkir kopi menunggu ide lalu mengetiknya dilaptop. Menulis memerlukan tekad serta ilmu yang tinggi. 

Bayangkan saja, jika seorang penulis tak memiliki tekad, tulisan yang ia tuliskan tak akan selesai hingga akhir hayat.

Lalu apa yang terjadi jika seorang penulis tak memiliki ilmu? 



Kamis, 12 November 2015

Sepucuk surat terakhir

p.s : saya tidak pernah berniat untuk mengutip suatu cerita/suatu kejadian nyata.
 understood?!

Dear Nya,

Surat ini kudedikasikan padanya yang telah pergi dari kehidupanku. Lebih tepatnya dari.... hatiku.

Untuk nya, yang selalu melukis senyuman indah diwajahku meski tanpa sepengetahuannya.

Untuk nya, yang datang seketika membuatku jatuh padanya.

Serta untuknya pula, yang pergi seketika lalu dengan sangat mudah menghancurkan segalanya.


Dia. Begitu perih mata ini mengetahui ia hendak pergi menjauh. Sangat hancur hati ini menatap kepergian tanpa sepatah kata pun yang tersisa. Amat membunuh jiwa ini mendengar ia telah berpihak pada yang lain. Engkau, yang telah menghidupkan hati, jiwa, raga, cinta dan kasih sayang ini, Namun Engkau pula tak cukup sedetik telah menghapus segala keindahannya.

Engkau, Apakah engkau tahu apakah yang tersisa atas penduaanmu itu? Jiwa yang rapuh, Hati yang hancur, serta harapan yang kosong. Engkau, apakah engkau tahu? kepergianmu tak terlalu masalah bagiku, bahkan engkau pergi sejauh apapun tak pernah menggoyahkan dinding yang kubangun. Namun, apakah engkau menyadari, Seyuman tulus itu tak lagi terhias disana semenjak kau pergi demi memperjuangkan yang lain. Segala cengiran, tawa, serta kebahagiaan yang kau lukis, telah pudar menjadi sebuah karya seni yang menakjubkan, yaitu kesakitan.

Aku, yang dulu pernah percaya namun aku dibohongi.
Aku, yang dulu pernah cinta namun aku terhianati.
Aku, yang dulu pernah bertahan namun tak kau perdulikan,
Aku, yang dulu pernah peduli namun dengan begitu sadis kau acuhkan.
Aku, yang nyatanya hadir disetiap pagimu, namun kasat mata dipandanganmu.
Aku, yang dulu berjuang mati-matian, dengan sangat keji kau lepaskan begitu saja.

Hanya karna apa?!

Karna, DIA!

Hanya karna dia, yang bahkan tak bisa melukis tawa dibibirmu.
Hanya karna dia, yang bahkan tak cukup lama, hadir dihidupmu.
Hanya karna dia, yang bahkan tak pernah MENGUNJUNGI MU TIAP PAGI.
Hanya karna dia, yang bahkan tak pernah rela meluangkan waktunya walau hanya demi menatap senyuman indahmu tiap pagi.
Hanya karna dia, yang bahkan tak jelas rasa cintanya.

Oleh karna itu, Aku, mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya padamu.
Padamu, yang rela melepaskan sekantong berlian asli, demi menggantikannya dengan sebiji jagung yang telah basi.
Apakah kau tahu? Selama ini, Apakah aku pernal menyesali suatu hal?
Tidak, bahkan aku mensyukuri rasa sakit ini. 
Karna, Tuhan telah mengajariku bahwa AMAT SANGAT TIDAK PANTAS, SEKANTONG BERLIAN MENANGISI AKAN POSISINYA TERGANTIKAN HANYA KARNA SEBUAH BIJI JAGUNG. KARNA IA MENGERTI, YANG DAPAT MEMILIKINYA HANYALAH ORANG-ORANG KALANGAN ATAS YANG BISA MEMBEDAKAN YANG MANA PANTAS IA PERJUANGKAN SERTA YANG MANA PANTAS IA BUANG DITONG SAMPAH.

Lalu terhadap engkau, Aku sangat kasihan terhadapmu. Kau telah kehilangan seseorang yang mencintaimu tanpa batas demi orang yang mencintaimu dengan terbatas. Lalu Aku? Aku hany kehilangan seseorang yang tak pernah menghargai perjuanganku, walau kutahu, ada banyak yang memperjuangkanku diluar sana. 



Ketika sepotong hati telah menemukan
sepotong yang lainnya, saat itulah
dimana hati itu menemukan tempatnya
kembali.
- Suci Sultan