Selasa, 26 Juli 2016

Sang Kucing Dan Kerinduaannya - Part 1

Namaku adalah, Moezza. Yah seperti itulah majikanku memanggilku, walaupun terkadang memanggilku dengan panggilan Caca. Terkadang tamu majikanku mengira aku adalah betina dengan badan kecil, dan kucing pendiam sepertiku. Berbeda dengan saudara kembarku, Momo. Terkadang mereka bahkan muak dengan tingkahnya yang begitu nakal hingga terkadang mendapat pukulan keras darinya.

Semejak aku hadir dirumah ini, keluargaku awalnya sangat menyayangi Momo dengan bulu tebal serta ekornya yang meliuk. Hingga terkadang ku iri karna perbuatannya, namun salah satu dari keluarga ini berbuat terbalik kepadaku. Ia begitu menyayangiku dan mengajakku bermain layaknya seorang sahabat baginya. 

Tempatku dan Momo, hanyalah sebuah persegi panjang dari besi, yang hanya mencukupi tempat kotoran dan selapis koran tua yang menjadi bantalku. Hidupku berubah, dikeluargaku dulu dilantaipun aku tak mau karna tanahku berlapiskan karpet dengan bulu halus yang memanjakanku. Bahkan kawanku adalah kucing cantik yang berperingai manja dan lucu.

Berbeda dengan masa laluku, kini selain harus bertemu dengan kucing kampung nan liar, aku bahkan harus berbagi makanan dengannya. Terkadang, aku harus terpenjara dalam rumahku hingga berhari-hari lamanya, tanpa melihat keadaan luar. Hal itu terus saja berlangsung hingga keirianku akan kucing kampung yang bebas berkeliaran itu, semakin memuncak.

Aku berteriak dibalik pita suaraku yang hanya bisa mengucap kata meong, meggertakkan cakar pendekku disela-sela besi yang menghalangiku. Majikan itupun keluar, satu-satunya majikan yang memanjakanku. Dengan perlahan tangannya menggeser kunci pintu dan menariknya hingga membukakan jalan untukku agar bisa keluar.

Perlahan kuinjakkan kakiku, dan mencoba berjalan kesekelilingku. Terkadang bermain dengan kursi, berlari kesana-kesini, melihat hal baru, tak perna kusebahagia ini. Bebas. Tak terkurung.

Nanti ada next part, karna hp low yah dikasi 2 part.



Rabu, 20 Juli 2016

Wanita diatas tali

Akulah seorang gadis yang kau paksa berjalan diatas tali.
Tergantung, mungkin saja untuk selamanya.
Terkadang kau menebalkan talinya ketika hampir saja aku akan jatuh.
Namun ketika aku memulai kembali perjalananku, kau kembali menipiskan talinya.
Tak kutahu sampai kapan aku terus tergantung seperti ini, hingga mana aku harus berjalan diatas tali ini.

Hingga waktu itupun tiba, taliku seakan menjadi sebuah jalanan yang sangat luas.
Sekelilingku yang biasanya adalah lautan lepas, menjadi taman luas yang dihadiahi pelangi.
Saat dimana kau sendiri yang membantuku berjalan, kau berani menyusuri tali ini,
diatas tali ini,
kita berjalan bersama.
Perangkap yang kau buat sendiri, menjeratmu berpuluh-puluh kali lipat sakitnya.
Tapi kau menjeratku berpuluh-puluh kali lagi perihnya.

Haruskah kau ada?
Disaat ia datang menyapa?
Kau tak seharusnya berada disana,
Aku mencintaimu sebagai mengatur taliku, bukan sebagai pahlawan yang membantuku menuju ujung dari pertunjukanku.
Semakin kau menggenggam tanganku erat, semakin pudar pula tepian perjuanganku.

Haruskah kau datang?
Berada disanapun kau sudah cukup bisa mengatur detak jantungku.
Tak tahukah kamu tentang mendengar kabarmu saja sudah membuat pipiku memanas,
hingga hampir terjatuh dalam jurang yang kau buat?

Namun, jika inilah memang yang kau inginkan,
biarkan kita bersama terjatuh dalam jurang itu,
saling menggenggam,
semakin terhanyut,
bersama menunggu,
kapan tiba pertunjukan ini selesai,
dan menghentikannya.

Harapan tanpa kepastian bagaikan
berjalan diatas tali,
digantungkan. Memilih jatuh, terasa sakit.
Namun tetap berjalan, semakin digantungkan.
- Keinginan untuk bejumpa


ps : sepertinya semakin alay saja, dan blog ini semakin tidak jelas, but i love it and u.

Sabtu, 16 Juli 2016

Unendlichkeit

Kutemukan dirimu disepanjang ingatan, tempat itu, rumah kita dahulu memandang senja.
Mengajarinya arti cinta yang sebenarnya. Sayangnya, tak lama setelah langkahmu menjauh, senja menjadi saksi rubuhnya rumah itu.
Sebanyak apa kepingan bangunan itu tak mengalahkan kerapuhanku yang masih saja mengulang segala memori yang tersembunyi dibaliknya yang semakin berjatuhan. 
Biarlah, hanya kita yang mengetahui keindahan itu.
Tertutupi oleh bangunan lain sebagai penipu jalanan.
Menipu rasa yang bersembunyi dibawahnya.

Kenangan, masih saja kau melukis kenangan dengan jarak sejauh ini, sempat terbersit pada keraguan akan mu namun kenangan itu menjadi penguatnya.
Tak berani lagi aku mengutuk jarak, karna rupanya itu tak berarti sama lagi padamu.
Mungkin rasanya begitu terencanakan ketika tuhan menghendaki mata ini tertuju padamu ditengah banyaknya mata yang mungkin kutatap. Rasanya telah tergariskan untukku melihatmu pada malam itu.

 Dengan wajah yang sebahagia itu, tentu saja yakinku kau telah berubah. Namun jika tuhan mengizinkan untukku bertanya walau hanya dengan sebuah pertanyaan saja, ingin sekali aku bertanya padanya tentang mengapa hanya aku yang dapat melihatmu?
Mungkin ke-semu-anku dimatamu tak lagi mengusik pikiranku, tapi kenyataan tentang hanya akulah yang diizinkan jatuh walau dengan keadaan seperti ini selalu menghantuiku.
Jika memang seperti itu, bukannya aku berkehendak mengutuk takdir, tapi keadaan seperti ini membuatku sadar untuk kembali lebih terbuka.
Membuka mata,
Mendengarkan kembali bisikan hati,
Bayangmu semakin pudar dipandanganku, tak pernah kupaksa untuk menghilangkannya.
karna kutahu,
Jika kau pernah menjadi penulis dulunya, suatu saat kau pasti akan menjadi penghapusnya. 

Rupanya penghapusku rusak, dan pensilku semakin teraut.
Saat ini, aku harus memilih diantara keduanya
Memperbaiki penghapusku yang rusak atau
mengambil pensilku sebelum menjadi semakin tajam dan patah.
- pasukan hujan

Rabu, 13 Juli 2016

Lintasan Waktu

Kesendirian, mengajarkan kita tentang keramaian. Namun keramaian tak mengajarkan tentang sepinya kesendirian itu.
***

Aku, akulah kesendirian itu. Bersahabat dengan sepi. Bercengkrama dengan angin.
Hampa dan hening adalah dua kata yang berbeda. Keduanya memliki makna yang tak sama. 
***
Mungkinkah telah digariskan seperti itu? 
Bolehkah aku mengubah takdir itu?
Menjadi seorang penyendiri dan penuh sepi sangat memuakkan. 
Tak pernah merasa berteman, tak pernah merasa terhiraukan.
Cinta? mengertikah aku tentang kata itu?
bahkan mendekati kemungkinannya pun tak bisa.