Jumat, 12 Agustus 2016

Dibalik Topeng Si Monyet

Dibalik topeng Si Monyet
7 agustus 2016

Siapa yang tak mengenalku? Aku berada hampir disetiap tempat kalian mencari hiburan. Aku... terbiasa dengan ramai.
Dengan gontai kugandeng motor kayu tua yang tak dipahat sempurnaku ini, terkadang kukibaskan tanganku demi menghapus serbuk kayu yang terkadang melukai pergelangan tanganku. Hari ini, matahari tampak panas walau kata belum mencapai waktu siang. Aneh juga, ditempat seramai ini tak ada yang tertarik melihat pertunjukanku. Sesekali mataku mengerjap, mataku menatap keatas menatap seekor kupu-kupu bercorak warna-warni terbang bebas menembus langit sambil menari ditengah putihnya awan. Kemanapun mereka pergi, mataku tetap saja mengikuti meski perih menanggung beratnya rantai yang melilit leherku.
Mataku kemudian beralih lagi, menatap seekor ular besar yang sedang bersantai ria bergelantungan diatas pergelangan tangan majikannya. Tubuhnya gemuk menandakan makanannya tercukupi, bahkan melebihi dari kebutuhannya sendiri. Berbeda hal dengan monyet tua kurus sepertiku, jangankan tercukupi, bahkan laparpun aku selalu. Bahuku yang kendor menjadi umur seberapa lama rantai besi berkarat ini telah menyesakkanku. Potongan kayu bergambarkan wajah imut yang sangat disukai anak perempuan adalah membohong wajahku.
Aku tak berani bermimpi untuk bisa terbang menembus langit bagaikan kupu-kupu bersayap indah itu, Berandai menjadi ular yang penuh kemewahan itupun aku tak bisa. Jangankan memiliki sayap, menjauh 5 meterpun rantai ini sudah mencekikku.
Tak ada yang mengira, dibalik topeng lucu yang selalu kupakai ini, tersembunyi belenggu yang ingin dibebaskan. Bahkan sang kupu-kupu tak bisa menyangka, dibalik semua keceriaan itu, ada sedih yang ingin kusampaikan. Sang ular ganaspun, akan merasa iba jika menatap mata penuh penderitaan itu.
Bisakah aku bertanya sekali saja pada langit, mengapa tak bisa aku diciptakan sebagai kupu-kupu saja, yang dapat beterbangan kemanapun, mengelilingi seluruh penjuru bumi tanpa rantai yang menahannya untuk terbang bebas. Jika sang langit tak mengizinkan, tak apa-apa jika mereka mengutukku menjadi batu, setidaknya tak ada lagi tangis yang harus kututupi dengan sebuah topeng lusuh nan tua.
Selagi mencaci penciptaanku pada langit, tak sengaja pandanganku teralih pada semut yang menggendong makanan yang berbobot berkali lipat dari ukuran tubuhnya. Kuamati geraknya yang berjalan menuju lubang kecil yang terdapat dalam tanah, lalu menyodorkan makanannya pada ratu dari bangsa semutnya. Terbersit rasa kagumku pada Tuan semut itu, yang rela mengangkat makanan berat dibawah teriknya sang mentari yang pada akhirnya ia serahkan pada semut lain, tak ada cacian dalam mulutnya. Bahkan mengeluh sedikitpun tidak.
Rupanya langit telah memberi jawaban. Menjadi kupu-kupu itu tak menjanjikanku langit, menjadi seekor ularpun tak menjanjikanku makanan. Tapi, menjadi diriku sendiri dan bangga terhadapnya menjanjikanku sebuah mimpi. Dan sebuah mimpi yang kulandaskan dengan mensyukuri akan memberikanku segalanya.