Sekali kau membuat seorang penulis mencintaimu, namamu akan abadi dalam setiap tetesan penanya. -pasukanhujan
Sabtu, 10 Juli 2021
Stasiun Emosi
Kamis, 17 Juni 2021
Kamu mendengar semua orang, tapi siapa yang mendengarmu?
Suaraku, serak.
Dadaku, sesak.
Entah sudah berapa lama aku berteriak.
---
Selamat pagi, Kamis, 17 juni 2021.
Kebiasaanku setiap pagi, menyapa, mengabsen setiap benda yang kulihat pertama kali.
Halo, kursi.
Selamat pagi, meja riasku.
Bagaimana tidurmu, kucingku?
Kutatap layar ponselku, mengetik hingga kuhapal dialogku tiap pagi.
"Selamat pagi, apa kabarmu? Mau kemana saja hari ini? Jangan lupa sarapan ya"
Sent. Terkirim.
Lalu setelahnya, tugasku hanya menunggu. Pada detik keberapa di hari kamis ini ponselku kembali berdering.
Ketahuilah, memperhatikan orang adalah kemampuanku. Jika mutan seperti Charles Xavier memiliki kelebihan membaca pikiran orang, mutanku adalah mendengarkan semua orang.
Malahan bukan hanya orang, bahkan kucingku pun yang tidak berhenti mengeong setelah gagal mendapatkan betina milik tetanggaku, ku sediakan diriku, untuk senantiasa mendengarkan curhatannya.
Ya, meskipun dalam bahasa yang tidak bisa kupahami maknanya.
---
“Apa kabarmu?”
“Ku harap kau baik-baik saja,”
“Apa ada hal yang mengganggumu?”
Seperti mode otomatis, aku menanyakan keadaan orang lain.
Entah sudah berapa lama aku mendengarkan orang lain. Indra pendengaranku semakin tajam, hingga dapat kuilustrasikan :
Telingaku semakin membesar, besar, hingga menutupi bibirku yang semakin menciut. Terlupakan. Hingga lupa makna dan fungsinya.
Emosi, tidak diketahui bentuknya.
Bagaikan bermuka dua,
Pagi hari akulah matahari yang cerah.
Namun saat pulang aku adalah pluto, jauh, tersesat, kecil, kesepian, tanpa teman, tidak punya apapun untuk diandalkan.
Setiap kembali ke plutoku, meskipun berteriak keras, rasanya seperti bisu saja.
Tidak ada yang berubah, selain pikiranku saja yang semakin kacau. Emosi yang terpendam. Marahku yang tak kunjung padam.
Teriakan yang kulentangkan dalam hati sampai di bibir yang hanya mampu berucap :
“Aku, baik-baik saja.”
Benar sekali, aku lupa bibir ini fungsinya untuk apa.
Layaknya manusia biasa, aku memiliki emosi. Mempunyai perasaan yang sejatinya perlu dikeluarkan, dilepaskan. Pelepasan emosiku yang seharusnya melalui ucapan, selalu saja berakhir menjadi amarah yang tiada alasannya.
Rasanya, tidak ada yang mengerti bahasaku. Bahasa emosiku. “Aku tidak baik-baik saja”, “Aku butuh pertolongan” dalam kamusku tidak seperti itu bunyinya.
Mungkin tidak jauh berbeda dengan kucingku.
Kita berdua adalah alien yang tidak dipahami di planet mana kita tinggal.
Kamis, 04 Februari 2021
Jatuh Cinta yang tidak menetap
Rabu, 27 Januari 2021
Tentang Penulis
Assalamualaikum,
Kutuliskan ini agar pembacaku dapat mengenal siapa sih yang menulis semua ini?
Halo semua, Selamat datang di Blog yang lusuh, berdebu ini!
Seperti judulnya, kali ini bukan hal melow galau yang ingin kutulis melainkan Diriku sendiri.
Saat ini sedang menjalani pendidikan di salah satu Universitas di Makassar, Departmen Epidemiologi. Menjadi soon epidemiologist alias tamat S1 inshaa Allah dengan gelar SKM, Aku berharap sekali bahwa ilmu epidemiologi atau lebih jelasnya ilmu yang mempelajari tentang menyebaran dan penyebab penyakit ini dapat mengantarkanku menjadi lebih berarti, bermanfaat dan tentu saja menghasilkan penghasilan dari ilmu yang kutekuni sejak 2017 tersebut.
Sejak SMP, SMA hingga bangku kuliah bahkan sampai detik ini, aku adalah pecinta kesehatan mental. Mengingat bahwa SMP,SMA-ku tidak jauh dari perundungan entah itu lingkunganku, atau diriku sendiri, dilakukan oleh orang lain ataupun oleh diriku sendiri sudah menjadi topik pembahasan yang paling populer bagiku terutama pada malam hari saat mataku terjaga, sistem saraf otakku sedang melakukan sidang isbat yang pembahasannya tak jauh dari, uangku habis kemana, besok keramas apa tidak, dan terkadang ya... topik kesehatan mental ini.
Lalu sejak kapan mulai menulis?
Sejak SMP, saat sedang kasmaran yang entah kenapa setiap kali aku menulis tentang apa yang kurasakan meskipun tidak membuatku berhenti cinta monyet setidaknya lebih meringankan rasa yang terbilang cukup baru bagiku.
Mungkin itu dulu,
Meskipun pembacaku nol, tapi menyenangkan bagiku untuk membaca tulisanku kembali.
Seperti bernostalgia, reuni, dengan Suci yang dulu.