Dibalik
topeng Si Monyet
7 agustus 2016
Siapa yang tak mengenalku? Aku berada hampir disetiap
tempat kalian mencari hiburan. Aku... terbiasa dengan ramai.
Dengan gontai kugandeng motor kayu tua yang tak dipahat
sempurnaku ini, terkadang kukibaskan tanganku demi menghapus serbuk kayu yang
terkadang melukai pergelangan tanganku. Hari ini, matahari tampak panas walau
kata belum mencapai waktu siang. Aneh juga, ditempat seramai ini tak ada yang
tertarik melihat pertunjukanku. Sesekali mataku mengerjap, mataku menatap
keatas menatap seekor kupu-kupu bercorak warna-warni terbang bebas menembus
langit sambil menari ditengah putihnya awan. Kemanapun mereka pergi, mataku
tetap saja mengikuti meski perih menanggung beratnya rantai yang melilit
leherku.
Mataku kemudian beralih lagi, menatap seekor ular besar
yang sedang bersantai ria bergelantungan diatas pergelangan tangan majikannya.
Tubuhnya gemuk menandakan makanannya tercukupi, bahkan melebihi dari
kebutuhannya sendiri. Berbeda hal dengan monyet tua kurus sepertiku, jangankan
tercukupi, bahkan laparpun aku selalu. Bahuku yang kendor menjadi umur seberapa
lama rantai besi berkarat ini telah menyesakkanku. Potongan kayu bergambarkan
wajah imut yang sangat disukai anak perempuan adalah membohong wajahku.
Aku tak berani bermimpi untuk bisa terbang menembus
langit bagaikan kupu-kupu bersayap indah itu, Berandai menjadi ular yang penuh
kemewahan itupun aku tak bisa. Jangankan memiliki sayap, menjauh 5 meterpun
rantai ini sudah mencekikku.
Tak ada yang mengira, dibalik topeng lucu yang selalu
kupakai ini, tersembunyi belenggu yang ingin dibebaskan. Bahkan sang kupu-kupu
tak bisa menyangka, dibalik semua keceriaan itu, ada sedih yang ingin
kusampaikan. Sang ular ganaspun, akan merasa iba jika menatap mata penuh penderitaan
itu.
Bisakah aku bertanya sekali saja pada langit, mengapa tak
bisa aku diciptakan sebagai kupu-kupu saja, yang dapat beterbangan kemanapun,
mengelilingi seluruh penjuru bumi tanpa rantai yang menahannya untuk terbang bebas.
Jika sang langit tak mengizinkan, tak apa-apa jika mereka mengutukku menjadi
batu, setidaknya tak ada lagi tangis yang harus kututupi dengan sebuah topeng
lusuh nan tua.
Selagi mencaci penciptaanku pada langit, tak sengaja
pandanganku teralih pada semut yang menggendong makanan yang berbobot berkali
lipat dari ukuran tubuhnya. Kuamati geraknya yang berjalan menuju lubang kecil
yang terdapat dalam tanah, lalu menyodorkan makanannya pada ratu dari bangsa
semutnya. Terbersit rasa kagumku pada Tuan semut itu, yang rela mengangkat makanan
berat dibawah teriknya sang mentari yang pada akhirnya ia serahkan pada semut
lain, tak ada cacian dalam mulutnya. Bahkan mengeluh sedikitpun tidak.
Rupanya langit telah memberi jawaban. Menjadi kupu-kupu
itu tak menjanjikanku langit, menjadi seekor ularpun tak menjanjikanku makanan.
Tapi, menjadi diriku sendiri dan bangga terhadapnya menjanjikanku sebuah mimpi.
Dan sebuah mimpi yang kulandaskan dengan mensyukuri akan memberikanku
segalanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar