Hi, namaku Emily.
Gadis 19 tahun yang hidup sendirian di London, jauh dari kampungku di Jakarta, Indonesia.
Tak ada yang istimewa bagiku hidup di Inggris, mungkin terkesan aneh, namun begitulah kenyataannya walau hal ini hanya bekerja padaku.
Kehidupanku hanyalah berputar begitu saja, memutari kebiasaan yang tak akan pernah lepas aku darinya.
Kebiasaanku :
1.Pada pagi hari senin hingga sabtu aku akan berkutat dengan buku-buku kuliahku di kampus. Begitulah kesibukan para mahasiswa yang mengambil jurusan Kedokteran.
2.Kemudian pada sore harinya, aku akan berada dikafe tempatku bekerja, tak ada yang menarik dari pekerjaanku, hanya menyapa hai pada pelanggan kemudian memberi pesanan yang dipesannya.
3.Saat minggu, di pagi hari aku akan disibukkan dengan sesi membersihkan dorm-ku. Tak sesibuk pada pagi hari, siangnya aku hanya akan berbelanja dipasar membeli bahan-bahan makanan untukku selama seminggu. Lalu pada sore harinya, diperjalanan pulangku aku akan me-laundry- pakaianku ditempat laundry dekat tempat tinggalku.
Kebiasaanku bagaikan waktu yang berputar dan memutari hal itu itu saja, tak pernah berubah, dan begitu begitu saja. Sampai kejadian mengerikan itu, menghantui kebiasaanku.
A few weeks before that "day"
Matahari bagaikan bunga yang bermekaran menyinari kota London yang penghuninya dipenuhi kesibukan walau waktu masih menunjukkan pukul 9 pagi. Jessica Emily Johnson dengan pakaian rapi berjalan menyusuri jalan menuju kampus tempat Emily kuliah. Handphone yang menjadi titik fokus penglihatannya membuatnya tak sengaja menabrak seseorang berjalan kearah berlawanan dengannya.
"Sorry sir,"
Ucap Emily dengan senyum ketika menatap sosok laki-laki tinggi dihadapannya.
"No problem."
Jawab pria itu sambil membalas senyum Emily hangat.
Senyum yang sangat manis, itulah first impression dari Emily pada Nathan yang baru saja memperkenalkan diri dihadapannya itu. Dengan perpaduan baju kemeja kotak-kotak, jeans biru dan sepatu sneakers hitam putih membuat penampilannya semakin memikat Emily. Setelah berbicara ringan dan saling bertukar nomor telepon, Emily dan Nathan-pun kembali kepada tujuan masing-masing. Tanpa Emily sadari, disitulah awal mula kesalahan dari pelanggaran kebiasaan yang tak pernah ia langgar, terjadi.
James, sahabat sekaligus teman yang menyukai Emily, mendengar persaksian Emily tentang Nathan -yang dia anggap begitu sempurna-, penasaran untuk bertemu Nathan dan kemudian memaksa Emily untuk mengajaknya makan siang minggu depan bersama disalah satu cafe didekat kampus mereka.
Emily sangat berterima kasih pada James tentang paksaannya untuk mengajak Nathan untuk makan siang, karna dengan hal itu, ia bisa mengetahui bahwa Nathan adalah pria baik dan bersahabat, dimana kampus Nathan, dan masih banyak hal lain tentang Nathan seperti; Nathan juga sering datang dikafe tempat ia bekerja, dan selalu melaundry pakaiannya ditempat yang Emily selalu melaundry pakaiannya juga, Berbeda dengan Emily, James menganggap Nathan adalah pria aneh dengan segala sikapnya, Emily menganggap perkataan James sebagai angin lewat saja walau sebersit rasa percaya karna mengingat James adalah mahasiswa dari Psikologi.
Hari berjalan begitu cepat, Kedekatan Emily dan Nathan membuat James marah terhadap Emily yang tak mendengar perkataannya. Emily yang mendengar kemarahan James pun hanya mengacuhkannya dan menganggap bahwa James cemburu pada Nathan. James berkata akan menjauhi Emily jika Emily masih berhubungan dengan Nathan yang di "okay"kan saja oleh Emily karna merasa telah cukup dengan kehadiran Nathan dalam hidupnya.
the day
Seperti kebiasaannya, pada hari minggu Emily hanya akan disibukkan dengan kesibukan membersihkan dorm pada pagi hari dan berbelanja disore hari. Setelah membersihkan dormnya, Emily kemudian bersiap untuk berbelanja keperluan seminggunya dipasar. Disela-sela perjalanannya kepasar, ia menyempatkan untuk menitipkan pakaian kotornya di laundry agar bawaannya tidak terlalu berat.
Tak ada hal aneh yang terjadi, hingga ia menyadari hari itu, Nathan tak pernah menelpon walau hanya untuk memberi kabar sekalipun. Saat mencoba menelpom, Emily hanya mendegar suara operator yang mengucapkan nomor Nathan sedang tidak aktif. Dipenuhi rasa kekhawatiran, Emily masih mencoba untuk berpikir positif dan mengerti mungkin Nathan lupa mencharge handphone nya saat keluar rumah.
Setelah membeli segala keperluannya, Emily-pun berjalan kembali kerumah dan akan mencoba menelpon Nathan saat sore hari ketika menunggu laundry nya selesai.
Saat tangannya membuka pintu kaca laundry, matanya membulat terkejut melihat kondisi laundry yang terlihat berbeda dari biasanya. Sepi. Satu pengunjungpun tak ada, padahal biasanya saat hari minggu laundry ini akan sesak dengan banyaknya orang yang mengantri. Tak hanya hal itu, hal mengganjal yang lainpun berdatangan. Mulai dari senyum penjaga laundry yang terlihat dipenuhi dengan ketakuatn hingga penjaga yang mengaku telah memasukkan pakaian Emily kedalam mesin cuci.
Dengan masih berpikir positif, Emily pun memencet tombol cuci pada mesin cuci setelah memberikan beberapa recehan pada mesin tersebut. Sambil menunggu mesin tersebut bekerja, Emily kemudian mengeluarkan ponselnya dan menelpon Nathan. Dan leganya dia ketika nomor Nathan telah aktif. Namun, kelegaannya berlangsung sesaat saja.
Ia mendengar dering telpon menggema dalam ruangan sepi tersebut, matanya menyapu seisi ruangan berharap ada sosok yang diinginkannya itu mengingat bahwa pria-nya juga sering ketempat itu. Namun, matanya tak selaras dengan pendengarannya yang mendengarkan sumber bunyi itu tidak ada disekitarnya, tapi berada tepat dibawahnya. Hati Emily berdegup memegang handphonenya gemetaran sambil membungkuk berusaha mendengar dengan baik dimana sumber bunyi tersebut.
Jeritan. Hanya jeritan yang menggelegar seisi ruangan tersebut saat mata Emily menatap tepat didalam mesin cuci yang masih bekerja, sumber suara itu berasal dari sana. Bersamaan dengan jeritan histerisnya yang menemukan mesin cuci tersebut dipenuhi warna merah darah segar Nathan yang bercampur dengan putihnya busa sabun pakaian.
Dengan tangan bergetar, Emily menghentikan jalannya mesin cuci tersebut. Tangannya hanya dapat menutup mulutnya yang berada antara ingin muntah dan menjerit dalam waktu bersamaan saat mencium bau darah dan pengharum pakaian yang bertabrakan. Tanpa disadarinya, sosok James telah berdiri tepat dibelakangnya, mengucapkan kata yang begitu menyayat hatinya,membuatnya tak sanggup lagi menahan tangis dan amarahnya.
"Aku satu-satunya saksi yang bisa meringankanmu dihadapan polisi."
----
Inilah part pertama dan pertama kalinya saya membuat thriller story,
Mungkin dipart selanjutnya saya akan seperti "penyidik dan ahli forensik" gagal dalam waktu bersamaan.
hope u all enjoy it.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar