November, 2022.
Munchen, Jerman.
Dengan malas kutatap lantai hijau penuh rerumputan didepanku. Ya, aku sekarang berada disalah satu lapangan terbaik di jerman. Allianz Arena, itulah nama sebutannya. Daridulu, aku memang sangat mencitai Klub bola bermarkas di allianz arena itu, Bayern Munich. Karna suatu khayalan konyol dan alasan bodoh yang kukemukakan. Tak perlu kusebutkan lagi alasannya, pasti tahu kan? Hal bodoh, konyol. Apalagi kalau bukan cinta?.
Sudah lama aku tidak mendengar mantra bodoh itu. C i n t a . Lima huruf yang memporakporandakkan hidup ku selama hampir 7tahun. Klise bukan?
Berawal dari kata pertemuan. Kemudian, beralih pada dua kata yaitu Jatuh dan cinta. Pada saat yang bersamaan. Selanjutnya pada kata sakral yaitu perpisahan. Kurang menyedihkan apalagi?
Dia yang bahkan tak pernah melirikku telah menghancurkan hati kuperkeping-keping. Melenyapkan impian indahku. Mengubur kata bahagia dalam hidupku. Untung saja, para ke 11 sahabatku dengan senang hati selalu menghiburku. Ohya! Lagipula mana mereka, mereka telah berjanji ingin nonton pertandingan bersamaku. Namun mana mereka? Bahkan sampai pertandingan berakhirpun mereka tetap tak menunjukkan diri.
Mataku menyisir segala sudut lapangan. Hingga pandanganku berhenti pada seorang yang memakai seragam yang sama dengan jersey klub kesukaanku. Yang dapat kulihat hanya punggung kokoh miliknya. Dia membelakangiku.
Ya tuhan! Dia adalah pemain!! Terbukti banyak fans yang berlari padanya. Dengan cepat aku berlari menuju arahnya. Kudengar tawa nya, kudengar suaranya. Sangat kental. Aku rasa.... Aku selalu mendengarnya. Tentu saja! Aku pasti selalu mendengarnya di televisi. Gerakannya mulai bergerak kebelakang. Dia berbalik. Dia... Berbalik. Nafasku tercekat. Paru-paru ku seakan terkena terpaan angin panas. Jantung ku serasa sudah pergi, lari entah kemana. Sesak. Sesak yang kurasakan.
Wajah itu.
Senyum itu.
Mata itu.
Masih terekam jelas dimataku, pertemuan itu. Rasa itu. Masih sama. Rasa itu masih sama. Tak berkurang sedikitpun. Bahkan.... Perpisahan itu masih sangat jelas diingatanku.
Mata itu menatapku. Mata yang sangat amat kurindukan. Bahkan bertahun-tahun lamanya, mata itu masih sama. Masih dapat membuat ribuan kupu-kupu memasuki ruang di jantungku. Membuatku semakin sesak.
"Ehm, permisi."
Mataku panas. Tak dapat menahan genangan yang sudah penuh. Beberapa butiran air jatuh, membasahi seluruh pipiku. Mata sembab ku menatap punggung itu. Berjalan menjauh. Namun, sebuah senyum tersungging diwajahku. Kutahu, cerita ku tak seindah cerita yang lainnya. Kalau dia bahkan dapat melupakan ku secepat itu. Lalu mengapa aku tidak? Kalau bahkan dia dapat pergi semudah itu. Mengapa aku tak bisa?
Dengan lembut kuhentakkan kakiku, memutar balik dari arah perginya. Kalau kau pergi lalu mengapa aku tidak? Aku bahkan dapat pergi lebih jauh dari yang kau kira.
Kepala ku berbalik.
Satu langkah
Dua langkah
Tiga
....
Hingga 19 langkah.
Aku mendengar suara lembut terdengar menggelegar keseluruh lapangan.
"Hei." Aku berbalik.
Bahkan aku mendapatkan sesak yang jauh lebih menyesakkan. Mataku terbakar. Kakiku seakan tak bertapak lagi. Serasa aku terkena badai pada diriku.
Kutatap mata itu. Mata yang kurindukan bertahun-tahun lamanya. Senyum itu. Sangat tulus. Matanya mengedip sebelah. Membuatku tak dapat menahan senyumku. Ya, dia adalah..... Dia.
Kutatap yang lainnya. Tentu saja. Dia adalah ke- 11 sahabat konyolku. Senyum khas mereka tersungging diwajah cantik mereka. Para fans itu berada dibelakang nya. Mataku kembali menatap nya -dia-, yang berdiri ditengah-tengah para sahabatku. Tangannya menenteng sebuah hiasan bunga.
Di belakang mereka semua, kursi penonton. Terlihat banyak bunga menghiasinya. Menuliskan sebuah kata yang membuat mataku semakin panas. Terdapat tulisan "i"di ujung kiri dan tanda hati ditengah serta "u"di kanan.
Dia berjalan mendekat kearahku. Berhenti tepat di hadapanku. Hanya berjarak 2langkah dariku.
"Kau tahu, aku bertahun-tahun menunggu hari ini. Hm,.." Terdapat jeda diantaranya hingga dia bergumam "i...lo.. Love u. yah, just like ich liebe dich." Kutatap wajah gugup itu. Sekali lagi, mataku memanas. Pipiku. Serta seluruh tubuhku.
"Dan mengenai fans-fans itu, aku membayarnya. Aku bukan pemain di klub ini. Aku ceo di salah satu perusahaan. Akan sangat mudah menyewa mereka..." Ucapnya lantang. Seperti biasa, dia selalu arrogant, dingin, sombong. Tapi.. Aku tetap meyukainya.
"Dan.. Mengenai langkah mu, yang 19 itu, kami merencanakannya. Sesuai dengab tanggal lahirmu. Mungkin apabila kau menghitungnya." Lanjutnya panjang lebar. Bahkan dia masih tetap tampan gugup seperti itu.
Aku hanya menatapnya. Tak menggubris segala ucapannya. Masih terkejut dengan semuanya. Masih tak percaya. Tak terasa sebutir air menetes mengenai pipi ku. Aku menangis. Hanya itulah jawabanku terhadapnya.
"Hei, hei. Jangan menagis. Maafkan aku. Maafkan aku yang membuatmu menunggu selama ini. Maafkan aku yang selalu bersifat dingin terhadapmu. Sifat dinginku hanya untuk menutupi segala kegugupanku. Maafkan aku juga yang baru berani hari ini." Ucapnya membuat air mataku semakin mengalir. Benarkah... Benarkah bahwa selama ini perasaanku terbalaskan? Bahwa aku tak jatuh cinta sendirian? Mungkinkah? Mungkinkah dia juga memendam rasa nya selama ini? Mungkinkah dia benar-benar ....mencintaiku?
"Ya. I love you. Dan itu sangat menyakitkan bagiku." Ucapnya parau.
"Kenapa?"
"Karna membuat tahun tahun dikehidupanku terlewatkan tanpa melihat senyummu. Tanpa melihat wajahmu. Dan apakah kau tahu mengapa aku pergi? Aku pikir dengan pergi menjauhimu akan membuatku tidak mencintaimu. Namun kau tahu? Yang terjadi hanyalah aku yang semakin hari merindukanmu. Semakin hari mencintaimu. Dan sangat menyakitkan bagiku." Lagi-lagi mataku panas. Dia... Merasakan hal sama denganku. Rasa yang sama. Sakit yang sama.
"Dan kau tak perlu menjawabnya, aku tahu jawabannya." Ucapnya dengan senyuman tulusnya.
"And the last... Will you marry me?" Ucapnya yang seketika terlihat puluhan bola terlempar kelangit. Saat mereka hampir menyentuh langit, mereka meledak. Menjadi ribuan kembang api menghiasi langit malam tersebut. Kembali kutatap matanya, yang masih tetap melihatku.
Dengan cepat kuanggukkan kepalaku.
"Yes. I will." Suara tiupan terompet berasal dari ke sebelas sahabatku. Mereka tersenyum padaku. Dan aku membalasnya dengan senyuman tertulusku. Aku sangat menyayangi mereka. Dan tentu saja, juga pada pria tampan dihadapanku.
Good friends are hard to find,
Harder to leave,
And impossible to forget. Just like
True love. - unknown.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar