Hehe, ini ceritanya mau dikirim buat lomba cerpen ramadhan:)
Karya : dzs
"Aku benci! Aku benci hidup ini tuhan!"
Gadis
itu segera meninggalkan ruangan itu, berharap semakin jauh ia melangkah,
menjauh pula kebenciannya pada kehidupan yang sedang dijalaninya ini.
Ketika
kaki jenjangnya telah menapak pada jalanan aspal, seketika fikirannya kembali pada
keadaannya beberapa saat yang lalu. Hampir dalam waktu yang bersamaan, dia
telah kehilangan kepercayaan sahabat dan orang tuanya, orang-orang yang selalu
ada didekatnya saat ia membutuhkan sebuah pundak untuk bersandar.
Saat
tiba dirumahnya, Sasha mendapat Ayahnya sedang berbincang-bincang diruang
keluarga bersama ibunya. Saat tatapan mereka bertemu, Sasha segera membuang
pandangan kearah yang lain.
"Sasha!"
Sasha hanya menggubris ucapan itu.
"Sasha,mungkin
suatu hari kau akan sadar, apa yang ayah lakukan saat ini, adalah yang terbaik
bagimu."
Sasha
hanya berlari, meninggalkan kedua pasang mata itu menatapnya sendu. Ia bersandar
pada balik pintu sambil meneteskan setitik air mata yang segera ditepisnya.
Tanpa
disadarinya, kedua kakinya berjalan menuju kamar mandi. Tanpa atas seizinnya,
jari-jari lentiknya memutar keran, kemudian, membasuh kedua telapak tangannya,
lalu berkumur-kumur. Tanpa dapat dikontrolnya, dirinya berwudhu begitu saja,
seakan sesuatu yang lain dapat mengontrol dirinya, lebih dari kemampuannya pada
dirinya sendiri.
Jari-jemari
itu, mengambil mukena dan menggeraikan sejadah. Langit malam itulah menjadi
saksi akan segelap dan sekeras apapun hati seorang manusia, namun, apabila setitik
cahaya ingin meneranginya, bahkan segelap apapun pasti kegelapan itu akan
terkalahkan olehnya. Lalu, sekeras
apapun benteng itu, tetap dapat teruntuhkan oleh sebuah iman yang berasal dari
sang maha pemberi petunjuk. Tanpa disangkanya, bibirnya melinsankan niat hendak
sholat malam, yang telah bertahun-tahun tak dikerjakannya itu. Selain bibir,
ada suara lain yang berteriak dalam dirinya, yang sekeras apapun suara itu
berteriak, hanya sang pencipta lah dan sang pemilik suara lah yang dapat
mendengarkannya. Itulah sang iblis. Sang iblis yang meronta kepanasan akibat
melihat korbannya berusaha untuk melepaskan diri.
Tak
dapat dibendungnya lagi, mata itu meneteskan air mata. Takut akan amarah sang
penguasa. Memohon ampun atas dirinya yang berlumur dosa.
Akibat
hari melelahkan itu yang membuatnya meninggalkan sahabatnya yang menganggapnya
berubah, serta dirinya yang beradu mulut bersama kedua orang tuanya menyuruhnya
untuk pindah sekolah, tidak dapat dikuasainya lagi, seketika kantuk menguasai
tubuhnya. Mata itu seketika terpejam,
membuat tubuh itu ambruk membentur empuknya sajadah. Lalu seketika
semuanya menjadi gelap.
***
Kantuk
gadis itu hilang seketika, saat merasakan dinginnya terpaan angin menampar
tubuh kecilnya. Matanya mengerjab-ngerjab berusaha mentralisir cahaya matahari
yang berombongan menyinarinya. Tangan gadis itu dengan pelan menyentuh sesuatu
lembut dibawahnya. Saat kesadarannya telah penuh, saat itu juga dia bangkit
dari tempat nya. Kemudian menyadari suatu hal, dia tidak berada dikamarnya.
Namun, disuatu tempat seperti hutan yang tidak diketahuinya berada dimana.
"Diam
ditempat!"
Sasha
seketika bungkam tak berbicara apapun saat menyadari dia telah dikepung oleh
puluhan orang yang memakai setelan tempur, mengacungkannya panah yang sangat
berbeda. Ujung nya seperti berasal dari tulang yang sudah diasah. Salah satu
diantara mereka telah berdiri dihadapan Sasha, mengacungkan benda itu lebih
dekat hingga membuat leher Sasha dingin, bersentuhan dengan panah itu.
"Siapa
namamu?! Berani-beraninya kau melakukan hal itu ditempat kami!!"
Sasha
kemudian mengamati telunjuk pemimpin itu, membuatnya tersadar akan keadaannya
yang masih memakai kudung sholat serta kakinya bertapak pada sajadah nya
semalam.
"Aku
tidak menyangka ada seorang gadis muslim yang berani melaksanakan ibadah
ditempat kami"
"Tempat
kami?"
"Ya,
Aku lah pemimpin penantang kalian! Cepat bakar dia!" Perintah pemimpin itu
pada salah satu bawahannya. Membuat bawahan itu segera menyeret Sasha dengan
seringainya.
"Lepaskan
aku! Kumohon! Lep--"
Dalam
sekejab, bawahan yang menyeret Sasha jatuh ambruk tepat dihadapan Sasha bersama
dengan sebuah anak panah menancap di dada nya. Membuat yang lainnya siap siaga,
serta pemimpin itu menggertakkan giginya kesal. Kemudian riuhan suara senjata
yang saling berterbangan memenuhi kesunyian hutan itu, beberapa dari mereka
mati dan beberapa lainnya kabur menghindari kematian.
"Siapa
namamu?"
Suara
itu membuat Sasha seakan berhenti bernapas, kemudian matanya mendapatkan
sepasang mata hitam yang menatapnya lekat.
"A-aku
tidak tahu." Jawab Sasha. Dia tidak berbohong sama sekali, karna memang
dia tidak mengetahui dirinya siapa disini, dan bagaimana dia bisa berada
disini.
"Bagaimana
kau bisa tidak tahu siapa dirimu?"
"Aku
tidak tahu."
"Dimana
rumahmu?"
"Aku
tidak tahu."
Kemudian
pria bertopeng serta berbaju zirah itu berjalan menjauh, mendekati kuda putih
yang ditungganginya.
"Apakah
kau tidak ingin ikut?" Ucap salah satu dari mereka mengacungkan tangannya,
kemudian mengangkat Sasha naik ketumpangan kudanya.
Saat
tiba disalah satu yang Sasha tahu dari Majdah --penunggang yang memberinya
tumpangan-- adalah tempat yang disebut "Serdadu Islam", dia langsung
saja menarik nafas lega, setidaknya dia berada ditempat yang aman. Serta
kedatangannya disambut sangat baik oleh penduduk disini.
Yang
Sasha ketahui adalah, dia berada disalah satu era dimana orang-orang memerangi
agama Islam. Serta pria yang menanyakan namanya tadi, adalah ketua peperangan
diarea pertahanan dan keamanan, Zerya Pramudya. Kata Majdah, perkemahan ini
terbagi menjadi beberapa area, yang pertama yaitu area pertahanan dan keamanan,
Majdah berada diarea tersebut.Yang kedua area kesehatan dan medis, disitulah
para dokter dan para perawat berada. Selanjutnya, area makanan dan pangan, para
wanita dan orang tua bekerja disana, selain membuatkan makanan, mereka mencari
bahan makanan dihutan. Selama Sasha belum mengetahui cara ia pulang kerumah, ia
akan dengan senang hati berada di area ketiga. Setelah rela jari hasil menicure
dan pedicure nya akan kotor akibat bahan makanan.
Setelah
Majdah memberikannya beberapa pakaian, Sasha segera mengganti mukenahnya
menjadi pakaian yang menurutnya tidak layak pakai. Rajutannya tidak jelas, dan
berasal dari kulit sapi. Namun apalah daya, mukenah Sasha telah hancur tidak
beraturan serta pakaian yang dikenakannya tidak sesuai dengan keadaan yang ada
disini. Setidaknya saat pulang kerumah nanti, dia bisa meminta ayah
membelikannya gaun rancangan langsung dari Perancang busana terkenal di Paris.
"Aku
memilihmu untuk ikut diareaku."
"A-area?
Maksud mu, aku ikut berperang?" Sasha menjawab pertanyaan Zerya yang
tiba-tiba duduk disampingnya.
"Ya."
Kemudian
dia pergi, meninggalkan Sasha yang pening akibat penuturannya.
"Dia
sudah mengumumkan mengenai areamu, semoga kau beruntung."ucap Majdah
membuat Sasha segera berbalik menatapnya.
"Tapi
aku tidak bisa. Ini terlalu cepat bagiku."
"Zerya
adalah pria yang bijaksana, Sasha. Apapun yang diperintahkannya untukmu, itulah
yang terbaik bagimu. Saat dulu, kedatangannya juga sama sepertimu." Majdah
menatap Sasha lekat. Kemudian melanjutkan, "Kami dulu menemukannya
dihutan, karna kecerdasannya membuat strategi perang, kami mengangkatnya
menjadi pemimpin kami. Namun, setelah hampir 3 tahun tinggal disini, tidak
satupun dari kami yang mengetahui masa lalunya."
Sasha
menelan ludahnya pelan, ternyata ada seseorang yang senasib dengannya, dan dia
adalah Zerya Pramudya.
****
Lanjut ke part 2 ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar