Kamis, 17 Juni 2021

Kamu mendengar semua orang, tapi siapa yang mendengarmu?

Suaraku, serak.

Dadaku, sesak.

Entah sudah berapa lama aku berteriak.

---

Selamat pagi, Kamis, 17 juni 2021.

Kebiasaanku setiap pagi, menyapa, mengabsen setiap benda yang kulihat pertama kali.

Halo, kursi.

Selamat pagi, meja riasku.

Bagaimana tidurmu, kucingku?

Kutatap layar ponselku, mengetik hingga kuhapal dialogku tiap pagi.

"Selamat pagi, apa kabarmu? Mau kemana saja hari ini? Jangan lupa sarapan ya"

Sent. Terkirim. 


Lalu setelahnya, tugasku hanya menunggu. Pada detik keberapa di hari kamis ini ponselku kembali berdering. 

Ketahuilah, memperhatikan orang adalah kemampuanku. Jika mutan seperti Charles Xavier memiliki kelebihan membaca pikiran orang, mutanku adalah mendengarkan semua orang.

Malahan bukan hanya orang, bahkan kucingku pun yang tidak berhenti mengeong setelah gagal mendapatkan betina milik tetanggaku, ku sediakan diriku, untuk senantiasa mendengarkan curhatannya.

Ya, meskipun dalam bahasa yang tidak bisa kupahami maknanya.

---

“Apa kabarmu?”

“Ku harap kau baik-baik saja,”

“Apa ada hal yang mengganggumu?”


Seperti mode otomatis, aku menanyakan keadaan orang lain. 

Entah sudah berapa lama aku mendengarkan orang lain. Indra pendengaranku semakin tajam, hingga dapat kuilustrasikan :


Telingaku semakin membesar, besar, hingga menutupi bibirku yang semakin menciut. Terlupakan. Hingga lupa makna dan fungsinya.


Emosi, tidak diketahui bentuknya. 

Bagaikan bermuka dua, 

Pagi hari akulah matahari yang cerah.

Namun saat pulang aku adalah pluto, jauh, tersesat, kecil, kesepian, tanpa teman, tidak punya apapun untuk diandalkan. 


Setiap kembali ke plutoku, meskipun berteriak keras, rasanya seperti bisu saja.

Tidak ada yang berubah, selain pikiranku saja yang semakin kacau. Emosi yang terpendam. Marahku yang tak kunjung padam.

Teriakan yang kulentangkan dalam hati sampai di bibir yang hanya mampu berucap :

“Aku, baik-baik saja.”

Benar sekali, aku lupa bibir ini fungsinya untuk apa.


Layaknya manusia biasa, aku memiliki emosi. Mempunyai perasaan yang sejatinya perlu dikeluarkan, dilepaskan. Pelepasan emosiku yang seharusnya melalui ucapan, selalu saja berakhir menjadi amarah yang tiada alasannya.


Rasanya, tidak ada yang mengerti bahasaku. Bahasa emosiku. “Aku tidak baik-baik saja”, “Aku butuh pertolongan” dalam kamusku tidak seperti itu bunyinya. 


Mungkin tidak jauh berbeda dengan kucingku. 

Kita berdua adalah alien yang tidak dipahami di planet mana kita tinggal.