Sabtu, 16 Juli 2016

Unendlichkeit

Kutemukan dirimu disepanjang ingatan, tempat itu, rumah kita dahulu memandang senja.
Mengajarinya arti cinta yang sebenarnya. Sayangnya, tak lama setelah langkahmu menjauh, senja menjadi saksi rubuhnya rumah itu.
Sebanyak apa kepingan bangunan itu tak mengalahkan kerapuhanku yang masih saja mengulang segala memori yang tersembunyi dibaliknya yang semakin berjatuhan. 
Biarlah, hanya kita yang mengetahui keindahan itu.
Tertutupi oleh bangunan lain sebagai penipu jalanan.
Menipu rasa yang bersembunyi dibawahnya.

Kenangan, masih saja kau melukis kenangan dengan jarak sejauh ini, sempat terbersit pada keraguan akan mu namun kenangan itu menjadi penguatnya.
Tak berani lagi aku mengutuk jarak, karna rupanya itu tak berarti sama lagi padamu.
Mungkin rasanya begitu terencanakan ketika tuhan menghendaki mata ini tertuju padamu ditengah banyaknya mata yang mungkin kutatap. Rasanya telah tergariskan untukku melihatmu pada malam itu.

 Dengan wajah yang sebahagia itu, tentu saja yakinku kau telah berubah. Namun jika tuhan mengizinkan untukku bertanya walau hanya dengan sebuah pertanyaan saja, ingin sekali aku bertanya padanya tentang mengapa hanya aku yang dapat melihatmu?
Mungkin ke-semu-anku dimatamu tak lagi mengusik pikiranku, tapi kenyataan tentang hanya akulah yang diizinkan jatuh walau dengan keadaan seperti ini selalu menghantuiku.
Jika memang seperti itu, bukannya aku berkehendak mengutuk takdir, tapi keadaan seperti ini membuatku sadar untuk kembali lebih terbuka.
Membuka mata,
Mendengarkan kembali bisikan hati,
Bayangmu semakin pudar dipandanganku, tak pernah kupaksa untuk menghilangkannya.
karna kutahu,
Jika kau pernah menjadi penulis dulunya, suatu saat kau pasti akan menjadi penghapusnya. 

Rupanya penghapusku rusak, dan pensilku semakin teraut.
Saat ini, aku harus memilih diantara keduanya
Memperbaiki penghapusku yang rusak atau
mengambil pensilku sebelum menjadi semakin tajam dan patah.
- pasukan hujan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar